RIWAYAT HIDUP (BAGIAN III)

RIWAYAT ZAMAN PERANG GERILYA

P

ada pertengahan bulan Oktober tahun 1949 terjadilah perang gerilya antara T.N.I Melawan Belanda pada waktu itu kesatuan saya bertugas di daerah Bojonegoro. Sebelum kita mengadakan Gerilya, untuk pelton saya yang dipimpin oleh Letnan II (dua) Subardjo, ditugaskan di kota Bojonegoro, disitu lalu dipencar regu-regu, dan regu saya ditempatkan di Komp. Bandjaredjo dengan diberi tugas untuk merusak jembatan Sungai Ketek apabila musuh datang akan masuk kota Bojonegoro
Pada keesokan hari jam 09.00 wib pertempuran antara kita dengan Belanda , fihak kita di timur Banjarejo sedang fihak musuh di Kaliketek.Setelah musuh/Belanda mendarat di Gelondong/Tuban, jembatan tersebut kita rusak dan kota Bojonegora kita bumi hanguskan. Sekira jam 09.00 wib kita sedang membakar gudang tembakau di Bligo, datanglah sebuah kapal terbang musuh terus menembaki kita, kita tetap berlindung kemudian  kapal terbang kembali.
Sekitar jam 09.15 wib diserang musuh dari timur/dari Glondong, serangan tersebut kita lawan kira-kira seper empat jam, kemudian bantuan kapal terbang musuh datang, terpaksa kita mengundurkan diri, akan menuju ke desa Pacul, melalui kampung kauman. Di kauman kita ditembaki oleh mata-mata musuh dari loteng, tetapi semua kawan-kawan selamat semua, karena hebatnya serangan dari musuh, maka senjata  12,7 hanya kita bawa lari mesinnya saja, adapun jagrak (kaki senjata) ketinggalan di tepi tanggul Banjaredjo, pada waktu perlawanan, terus kita menuju desa Pacul. Di desa Pacul kita istirahat selama sehari semalam kemudian pindah lagi ke desa Wedi, sebelah selatan kota Bojonegoro. Disitu mempertahankan sampai 7(tuju) hari, disitu setiap jam 16.00 wib kita berebutan jagung dengan musuh, di dekat stasiun Bojonegoro.
Pada suatu hari sekitar jam 08.00 wib saya sedang jaga di tepi jalan dengan dua orang kawan, pada waktu itu dua orang kawan sedang mengambil makan di markas pelton, jadi tinggal saya sendiri kemudian ada 5 (lima) orang datang ke tempat saya, perlu tanya jalan ke Babat. Orang itu saya tanya dari mana dan bekerja apa ? mereka mengaku dari Bojonegoro bekerja di pabrik rokok. Lantas saya tanya surat keterangan mereka mengaku bahwa surat keterangan dirampas oleh Belanda. Dengan pengakuan yang demikian itu, saya timbul kecurigaan dalam batin saya : ini mungkin mata-mata musuh.
Kemudian 5(lima) orang itu saya bujuk demikian ; sekarang begini saudara dari pada saudara berjalan tidak membawa surat keterangan, itu tidak enak, tentara yang jaga disana itu kejam-kejam jangan-jangan saudara nanti dianggap mata-mata musuh. Maka sekarang ikut saya, nanti saudara saya mintakan surat penduduk pada Pak Lurah Wedi, jadi saya ini menolong saudara, ini kalau saudara mau saya tolong. Akhirnya mereka mau turut saya, terus saya bawa kerumahnya Kepala Desa/tempat kawan-kawan.
Setela tiba di tempat diadakan pemeriksaan, setelah digeledah ternyata 5(lima) orang tersebut mata-mata musuh, dengan membawa tanda bendera berwarna  merah putih biru dan cermin kecil. Setelah ditanya karena sudah ada bukti tanda-tanda maka mereka mengaku terus terang bahwa diperintah oleh belanda, dengan dibayar Rp 30,- uang Nica.
Pada esok harinya jam 07.00 kita bunuh dan kita tanam di belakang Masjid desa Wedi, menjadi satu lubang. Pada malam hari suara jeritan orang di belakang masjid itu luar biasa ramainya sehingga orang-orang di desa tidak berani keluar.
Dua hari sesudah kejadian itu, kita mendapat perintah untuk pindah tempat, terus kita pindah ke desa Modjoranu. Di desa Modjoranu inilah kita mulai mengatur Gerilya, tiap-tiap anggota diikutkan pada penduduk setempat dan harus berpakaian preman, serta ikut bekerja pada orang yang ditempati, senjata disembunyikan.
Pada waktu itu sebelum kita dipencar, kita satu pelton bertempat di desa Modjoranu, di rumahnya Pak Kromo. Pada suatu malam saya dengan dua orang kawan masuk ke kota Bojonegoro untuk menyelidiki tempat-tempat Pos Belanda, berangkat jam 24.00 wib, setelah sampai di kampung Sukoredjo, kawan saya bernama Sukidjan mengajak pada kita (bertiga) merampok rumahnya Tionghoa, tetapi ajakan itu tidak kita turuti, akhirnya dia mangkel (kecewa) terus dia menyendiri  dengan mengeluarkan kata-kata demikian ; saya tidak cocok mempunya kawan yang licik, lebih baik sendirian,  sambil berkata demikian dia terus nggelas sendirian, tinggal saya  dengan kawan bernama Aring.
Sepeninggalnya saudara Sukidjan tadi  saya berdua dengan hati-hati berjalan menuju Karangpacar, setelah jam 02.00 wib kita istirahat di belakang rumah Tionghoa. Selama kita istirahat disitu anaknya tionghoa itu menangis tidak ada henti-hentinya, sehingga orang tuanya menangis juga karena jengkelnya.
Setelah jam 02.30 kita akan kembali, baru saja berjalan kira-kira 25 meter datanglah sebuah jeep patroli, terus kita membelok kebelakang rumah gremo, disitulah kita sangat terkejut karena ada kuda setelah jeepnya sudah lewat, kuda tadi saya bawa entah kudanya siapa kita tak tahu dan kuda itu betina.
Setelah mendekati subuh, kita sampai di desa Dingoro disitu kita istirahat menunggu siang. Setelah jam 07.00 wib kita berpendapat untuk menjual kuda itu. Kuda terus kita tawarkan pada Kamitua Dingoro tetapi tidak mau membeli karena betina. Terus kita bawa ke Modjoranu karena kita jual tidak laku maka oleh Komandan Pelton kuda itu dipelihara untuk kendaraan pribadi. Hal ini saya dengan saudara Aring sangat menyesal sebab kita yang capek-capek dia yang miliki.
Pada suatu hari Komandan Pelton sedang pergi saya berunding dengan kawan-kawan bermaksud akan menyembelih kuda itu, setelah sama-sama mufakat maka terus memanggil modin untuk menyembelihnya. Jam 18.00 wib Komandan Pelton datang tetapi belum tahu kalau kuda tadi kita sembelih, pada jam 18.30 wib kita makan bersama, karena banyaknya ikan itu Komandan Pelton bertanya “wah banyak sungguh ikannya, siapa yang usaha dan ikan apa ini ?  pertanyaan itu oleh kawan-kawan tidak dijawab tetapi bersama-sama mbrengingen seperti kuda, jadi ramai dalam rumah itu, akhirnya Komandan Pelton mengerti bahwa kudanya yang disembelih.
Pada esok harinya kita mulai dipencar-pencar, saya bertempat di rumahnya saudara Soekadi di desa Bendo sebelah timur desa Modjoranu, jadi tiap-tiap rumah ada Tentaranya.
Pada suatu hari pagi jam 06.00 wib kita mendengar tembakan satu kali, dengan demikian kita terus siap dan steling  di luar desa Modjoranu disebelah utara desa, baru saja kita menempatkan senjata 12,7 datanglah sebuah pesawat terbang musuh dari timur terus menembaki tempat kita, dengan sendirinya kita tidak sempat melawan sebab tembakan sangat dahsyat.
Setelah sebelah kanan tempat kita berlindung dibom oleh musuh sehingga topi baja yang saya pakai lepas dari kepala dan melayang, begitu juga pohon pisang di dekat saya juga melayang dan jebol, maka kecillah hati saya dan berpendapat bahwa pasukan musuh yang di darat tentu maju, maka topi baja yang melayang tadi saya injak kedalam lumpur, dan saya bermaksud meninggalkan tempat itu/mengundurkan diri, terus saya masuk ke parit menuju tempat saya di desa Bendo.
Didalam perjalanan itu terus dikejar-kejar oleh kapal terbang musuh sambil menembaki,  tiap-tiap ada tembakan saya berhenti sambil memejamkan mata. Setelah sudah masuk desa Modjoranu, disitu sudah sunyi orang-orang nya mengungsi semua. Terus saya ke Bendo setelah saya sampai dirumah yang saya tempati orang yang punya rumah melihat saya datang itu terus menangis, karena tidak sampai hati, terus saya diambilkan sarung kentel (tenun jawa) untuk ganti. Terus saya mandi sambil mencuci celana saya. Baru saja celana itu saya jemur, tahu-tahu tembakan musuh sudah mengepung desa, dari barat, timur, selatan dan utara dan musuh sudah di dalam desa, waktu itu saya menjadi bingung dan gelisah terus masuk kedalam didalam ada lesung (tempat menumbuk padi) karena bingung dan musuh sudah dekat maka lesung terus saya gulingkan dan saya masuk kedalamnya, tangan saya terjepit lantas lesung diangkat oleh yang punya rumah terus saya keluar lagi, kemudian akan masuk gentong tempat air dicegah oleh yang punya rumah karena pasti akan jebol terus saya jongkok di muka dapur sambil melabur muka saya denga abu kemudian yang punya rumah berkata “ dik meskipun badanmu kau labur tetapi senjatamu masih tetap tidak lepas dari badan ya percuma”. Lantas saya ingat dan terus bangkit  terus mempunyai tekad Jibaku, dalam batin, saya mati musuh harus mati. Maka saya terus ngamping di pintu sambil menghitung banyaknya musuh, rumah yang saya tempati dengan musuh hanya berjarak 3 (tiga) meter, jadi perasaan saya sudah tidak merasa hidup.
Dengan perlindungan Allah musuh tidak singgah di rumah itu, jumlah semua ada 75 orang. Setelah musuh sudah lewat saya duduk dibawah pohon pisang sambil menangis memikirkan nasib yang demikian tadi yang mana semua kawan-kawan pada waktu mengundurkan diri tidak memberi hubungan pada saya, sehingga saya mempertahankan sendirian, umpama saya mati tidak ada yang tahu, itulah menagis saya.
Tidak antara lama datanglah saudara Rosa pelayan regu ketempat saya betapa girangnya hati saya. Pelayan tersebut bertanya mas Kohari, sampeyan kok ketinggalan disini, lantas saya jawab  untunglah dik saya masih hidup. Dan kawan-kawan dimana katanya ; kaawan-kawan sudah jauh  sudah didesa oro-oro ombo.  Lantas senjatanya 12,7 apakah masih dibawa ? tidak mas entah dimana, lantas saudara Rosa saya ajak mencari ketempat pertahanan kita tadi, ternyata senjata masih ditinggalkan disitu dimasukkan dalam lumpur, terus kita angkat dua orang kita bawa kedalam kampung tempat saya tadi, baru saja senjata itu saya bersihkan terdengarlah tembakan musuh maka senjata kita sembunyikan di tepi sungai dibawah pohon pandan.
Pada waktu itu badan saya sangat capek dan lapar, maka dengan lemah lembut saudara Roso saya ajak bermalam disitu, maksud saya besok pagi-pagi jam 04.00 wib kita keluar dari desa itu. Tetapi maksud saya ditolak oleh saudara Roso, katanya mas saya tidak berani bermalam disini mari keluar saja, sebab malam ini Belanda bermalam di desa Jatiblimbing, jarak 1Km (satu kilometer) dari sini, mungkin nanti mata-matanya sampai disini. Tetapi seumpama saya berjalan tidak berdaya maka kata-katanya saudara Roso tadi tidak saya hiraukan. Kemudian timbul kekejaman saya terhadap saudara Roso, dia saya todong senjata sambil saya tanya : Saudara Roso kalau maksud saya ini tidak kau turut lebih baik saya bunuh, sekarang pilihlah.                                            
Akhirnya dia menyerah dan mengikuti maksud saya, seorangpun di kampung itu tidak ada, semua lari mengungsi,. Setelah jam 04.00 wib saya dibangunkan diajak keluar dari gardu, terdengar suara tembakan beberapa kali maka kita terus melindung di dalam padi di sawah. Setelah aman kita meneruskan perjalanan menuju  desa oro-oro ombo. Dijalan bertemu dengan Komandan Ki. Lts.B. Soemantri. Loh, ini akan dibawa kemana senjatanya ? Pertanyaan Komandan Ki demikian itu sambil marah. Lantas saya jawab dengan marah juga dan senjata itu saya serahkan
Kemudian saya diperintahkan mencari Komandan  Ru. Sampai ketemu dan senjata disuruh menyerahkan kepada sersan Adjib.setelah saya serahkan saya dengan kawan-kawan yang bernama Amir terus berangkat untuk mencari Komandan Regu. Didalam perjalanan selalu berhati-hati kawatir tersergap musuh.
Setelah sampai di desa Semenklepek di situ ada sungai besar, baru saja kita sampai di sungai itu dengan tiba-tiba ada kapal terbang musuh datang dari barat terus menembak. Karena mendadak maka kita masuk sungai terus berenang menyebrang. Didalam menyebrang itu hampir saya tenggelam karena dalamnya dan lebar jadi merasa capek, tetapi dengan pertolongan Tuhan kita sampai di darat dengan selamat. Kemudian meneruskan perjalanan. Setelah jam 18.00 wib sampailah disuatu desa Sumbergerang.
Oleh karena sudah malam dan badan sangat capek, maka kita bermaksud untuk bermalam di desa tersebut. Kita terus menuju kerumah Kepala Desa untuk bermalam. Tetapi telah sampai di rumah Kepala Desa dan minta ijin untuk bermalam, oleh Kepala Desa kita ditolak karena musuh pada waktu itu sudah berada di desa sekitarnya. Maka kita terpaksa kembali masuk hutan dan bermalam di tengah-tengah hutan, tidur di sebuah gubuk kecil, mungkun gubuk itu bikinan anak penggembala, semalam itu kawan saya menagis saja karena kedinginan dan perutnya sangat lapar. Setelah jam 05.00 wib saya ajak berjalan keluar dari hutan. Sampai di luar hutan ada seorang perempuan mengirim suaminya yang sedang bekerja di tegalan, melihat orang perempuan membawa makanan itu kawan saya (sdr. Amir) mengajak saya untuk mendekati orang itu, mungkin orang itu akan memberi makanan, tetapi setelah kita mendekat kedua orang suami isteri diam hanya diam saja tidak menegur dan menawari kita akan minta merasa malu, kemudian saya ajak terus berjalan menuju ke timur, kemudian bertemu dengan beberapa orang memikul gula gandul orang-orang itu dari desa Kedungadem akan menuju ke Babat.
Kemudian saya mengikuti perjalanan orang-orang itu setelah sampai di desa Kedungpring, hati saya merasa gembira, karena sudah dekat rumah/desa saya.selanjutnya saya menuju ke desa saya. Jam 19.00 wib saya sampai dirumah. Pada waktu itu yang di rumah hanya ayah saya sendiri. Karena pada waktu itu saya memelihara kumis dan jenggot maka pada waktu saya masuk rumah ayah sangat terkejut karena dikira bukan anaknya (saya), setelah agak lama barulah tahu bahwa yang datang adalah saya, maka dengan menagis ayah merangkul pada saya, dan mengatakan bahwa berkali-kali ayah mendengar kabar bahwa saya sudah meninggal dunia (gugur dalam peperangan).
Kemudian sambil mencari berita maka saya menggabungkan diri pada O.D.M. Sugio yang dipimpin oleh Sersan Mayor Misbah. Di daerah Sugio saya ditempatkan di desa Bedingin sebagai Komandan Sektor menguasai 3 (tiga) desa : Bedingin, Kedungdadi dan desa Simobogem , disitu saya memimpin Satuan Regu Orang Bromocorah sebagai P.D ( Penggempur Dalam)
Dengan tidak tersangka di daerah itu saya bertemu dengan isteri teman yaitu isteri saudara Kadir bernama Konah asal dari desa Bungah (tetangga sendiri) dia memberi tahu kepada saya katanya isteri saya sudah meninggal dunia karena melahirkan. Mendengar berita yang demikian itu hati saya sangat bingung hingga seperti orang gila, kalau sudah termenung, walaupun satu hari hanya termenung saja kalau tidak diajak bicara. Kakak saya sepupu bernama Nurhasim  mengetahui keadaan saya demikian sangat kawatir lalu saya dinasehati jangan sangat-sangat memikirkan isteri yang sudah meninggal, kita ini menghadapi musuh. Satu-satunya jalan untuk melupakan isterimu yang sudah meninggal lebih baik kawin lagi saja, kakak sanggup mencarikan jodoh. diberi nasehat demikian itu lalu saya minta pertimbangan pada kawan-kawan lainnya. Akhirnya banyak kawan-kawan yang setuju tetapi saya masih pikir-pikir dulu.
Pada suatu hari desa Sugio diduduki Belanda semua penduduk lari mengungsi, yang tidak mau mengungsi hanya pak lik saya sekeluarga bernama Kusnan/ Naib Sugio. Oleh karena tidak mau mengungsi maka mereka dicurigai oleh O.D.M. dan akan diculik dan akan dibunuh. Lalu saya ambil siasat bagaimana agar pak lik saya itu selamat tidak jadi dibunuh, lalu saya kirim surat pada pak lik agar dapatnya putrinya yang bernama Siti Rohmah saya kawin dan supaya segera meninggalkan desa Sugio. Lamaran saya diterima dan mereka pindah kedesa Tanggul disitulah saya menikah, dan saya segera kirim surat kepada ibu Mertua di Bungah saya titipkan anggota Sabil isi surat memberi kabar bahwa saya sudah kawin.
Setelah 35 hari saya menggabungkan diri didaerah Sugio, tiba-tiba saya menerima surat perintah dari Letnan Soeprapto supaya saya segera kembali ke Kesatuan di daerah Temajang, dengan demikian saya segera kembali, berjalan 3(tiga) hari  3(tiga) malam baru sampai di desa Temajang.
Setelah bertemu dengan Komandan, saya diperintahkan untuk memegang senjata mortir dan ditempatkan di sebuah desa ditepi sungai pacul dilereng gunung Peling. Tiap malam sejata mortir saya sembunyikan di atas sebuah gubuk.
Pada suatu hari kira-kira jam 07.00 pagi ada dengan mendadak ada patroli Belanda/musuh akan mengepung desa yang saya tempati. Pada waktu itu saya masih tidur, lalu orang yang punya rumah berteriak sambil menyeret saya  lalu saya lari menuju gunung, karena musuh sudah terlalu dekat maka terpaksa tidak sempat mengambil senjata yang di atas gubuk, saya terus naik gunung, sampai diatas saya melihat kearah desa yang saya tempati, desa itu sudah dibakar oleh musuh, rumah sudah habis, saya menangis karena ingat senjata saya yang diatas gubuk, sehingga ketiduran di atas gunung sampai jam 18.00 wib, lalu saya segera turun dari gunung karena merasa bingung, sehingga tersesat di desa Kedungsumber sudah jam 20.00 wib, terus menuju desa yang saya tempati, menuju ke gubuk tempat senjata mortir, dengan pertolongan Tuhan, senjata masih ada.
Setelah itu saya mencari orang yang saya tempati, tetapi orang tersebut telah mati tertembak oleh musuh didalam rumah dan sudah menjadi hangus karena terbakar.
Akhirnya dengan pertolongan Tuhan saya dan senjata saya selamat. Kemudian saya diperintahkan untuk menjaga tahanan belanda sebanyak 4 orang yang tertangkap di daerah Kanur pada waktu pertempuran kehabisan peluruh, yang namanya sebagai berikut :
1.       Kiltar usia 25 tahun.
2.       Vandec usia 25 tahun.
3.       Nicolas usia 22 tahun.
4.       Deboor usia 25 tahun.
   Senjata saya diganti dengan senjata Karabyu. Tempat tahanan di Desa Bakulan, pada suatu hari jam 04.00 Wib desa Temayang terserang oleh musuh penjagaan satu regu di pertigaan  yang dipimpin oleh Letnan Syari’in disergap musuh habis semua karena pada saat itu sedang tidur, yang hidup tinggal Kamid dan Letnan Syari’in sendiri. Setelah saya mendengar tembakan ramai, lalu tawanan saya bawa lari ke Tretes.     
Kemudian pada pagi harinya saya menghadap Komandan dengan maksud minta supaya pemegang senjata mortir diganti, permintaan saya dapat dikabulkan  saya diperintahkan memegang senjata Sten dan menjabat sebagai Wakil Komandan Regu II. Pada waktu itu saya dengan kawan-kawan satu regu bertugas di tepi bengawan solo desa ledok kulon Bojonegoro, disinilah ada kejadian yang lucu , pada suatu malam ada laporan bahwa Belanda sedang menyebrang di bengawan solo waktu itu kawan-kawan sudah panik semua mencari tempat untuk menyamar dan masuk ketempat rumah penduduk sedang pakaian dinasnya dilepas pada waktu itu saya ditanya oleh Komandan soal senjata 12,7 dimana, saya jawab bahwa senjata masih ditinggal di tepi bengawan dan kawan-kawan sudah pergi mencari hidup sendiri-sendiri lalu Komandan marah juga kelihatan takut lalu memaksa pada saya supaya mengambil senjata yang ditinggal ditepi bengawan dengan ancaman kalau tidak mau akan dibunuh. Sedang dia akan mencari semua anggota. Dengan rasa takut perintah tersebut saya laksanakan dengan pelan-pelan saya menuju ketepi bengawan tempat senjata. Oleh karena senjata itu sangat berat maka tidak saya bongkar tetapi saya jaga dan waktu jaga itu yang saya awasi adalah bengawan karena menurut beritanya belanda sedang menyebrang bengawan.
Kira-kira jam 02.00 wib saya terlihat didalam bengawan ada seperti orang sedang menyebrang banyak sekali, muncul dalam hati saya percaya bahwa itu Belanda/musuh lalu saya siap untuk menembak dan sudah nekat tetapi saya perhatikan betul-betul yang timbul-timbul itu bukan manusia tetapi kayu jati gelondongan banyak sekali dari kalitidu, mungkin itu yang dilaporkan belanda menyebrang bengawan itu.
Jadi semalam saya tinggal sendirian menjaga senjata berat itu sampai pagi.  Jam 07.30 wib Komandan datang dengan 3 orang mencari saya sedang kawan-kawan belum ada yang datang , dan saya melaporkan keadaan aman dan menceritakan apa yang saya lihat pada waktu malam itu. Kemudian dengan keputusan Komandan saya diangkat  sebagai Komandan Regu II sedangkan Komandan Regu saya dilorot sebagai anggota biasa sebab tidak bertanggung jawab terhadap senjata yang dipercayakan.
Kemudian regu saya diperintahkan pindah Pos didesa Banjarejo di dekat klenteng. Pada suatu malam kawan-kawan mendapatkan 3 ekor itik keputusan semua anggota itik tersebut  akan dipotong untuk ikan tetapi saya tidak setuju sebab dalam keadaan prihatin jangan-jangan nanti terjadi apa-apa tetapi ternyata kalah suara terpaksa itik jadi dipotong.
Kemudian  pada tahun 1950 Regimen 30 dirubah menjadi Bataliyon 16, sayas pindah ke Kompi IV Sie II Regu III.
Komandan Bataliyon Mayor Basuki Rachmad, Komandan Kompi Bambang Sumantri dan Sie Letnan satu Arum kemudian diganti oleh Letnan Dua Soebardjo, setelah penyerahan kedaulatan Komandan Bataliyon diganti oleh Kapten Siswadi, kita bertugas di daerah Besuki, Jember, Bondowoso-Situbondo.
Kemudian pindah lagi di daerah Sidoarjo Komandan Bataliton diganti oleh Kapten Maskanan, saya pindah ke Kie. V Sie. I Ru. II No. Stambuk saya diganti menjadi 16545 kemudian Bataliyon 16 dirubah menjadi Bataliyon 502.   
Pada tahun 1951 saya dipindahkan dari Bataliyon 502 ke Detasemen Sub sistensi I/17/V di Surabaya Komandan Detasemen Mayor Sastroatmodjo.
Pada tanggal 02 Mei tahun 1953 saya dipindahkan lagi ke Bataliyon 501 Kie. I Ton. II Ru.II Komandan Bataliyon Kapten semeru.
Pada tahun 1954 saya bertugas ke Sulawesi        selatan di daerah Waton Sopping  selama 18 bulan.
Pada tahun 1957 saya dipindahkan ke Kodim 0817 atas permohonan saya sendiri dan saya diberi jabatan sebagai Juru Bayar selama satu tahun. Kemudian saya minta pindah Jabatan, lalu dipindahkan ke ODM Manyar selama 2 tahun.
Setelah 2 tahun saya dipindah ke Pulau Bawean selama 5 tahun.
Pada tahun 1964 dipindahkan lagi ke PUTERPRA 0817/3 di Rungkut selama 3 bulan, dipindah lagi ke Koramil 0817/5 di Gresik selama 6 tahun sampai pensiun.
Pada tahun 1974 saya ditunjuk oleh Bupati Gresik untuk menjadi Carteker Kepala Desa Sembayat selama 2 tahun sampai tahun 1976.tahun 1976 sampai tahun 1996 menikmati masa Pensiun.