RIWAYAT HIDUP (BAGIAN I I)


KEJADIAN-KEJADIAN SETELAH DARI SUMUR BEDJI
A
Antara satu minggu kita berangkat patroli menuju timur desa Ujungpangkah. Pada waktu itu jalannya penuh dengan air dari laut,  karena kita memakai sepatu  maka kawan-kawan saya ajak berjalan melalui tegalan yang di sebelahnya tegalan tersebut belum ada tanamannya, tetapi sudah garapan dan kita berjalan melalui paritnya, kemudian ada orang berjalan dari arah timur dengan membawa alat penangkap ikan, setelah dekat dengan kita kemudian orang tersebut berkata “ Mas, kamu itu tentara tidak punya aturan, apa tidak tahu kalau ini tegalan “.  Setelah saya mendengar kata-kata yang demikian, terus senjata saya kokang, orang itu akan saya tembak, tetapi dengan cepat kawan saya memegang senjata saya sambil berkata”Mas sabarlah, dan ingatlah bahwa orang Ujungpangkah itu banyak yang tidak pasah (kebal) senjata, sedangkan Jepang pun tidak berani”. Lantas orang tersebut saya tanya dimana rumah sampeyan pak ? pertanyaan saya dijawab dengan menebah dadanya Ujungpangkah mas, mau apa ? lantas saya tanya lagi siapa nama bapak ? dijawab tidak punya nama, terus dia berjalan sambil ngomel-ngomel tentara tidak punya aturan.
Kita terus berjalan ke timur dan ketemu dengan seorang perempuan yang sedang ramban, lantas saya tanya, Yu, itu tadi orang mana, dan siapa namanya ? dijawab oleh orang perempuan tadi  bahwa itu tadi orang Ujungpangkah adapun namanya Mustafa, benggolnya orang Ujungpangkah. Lantas kawan-kawan saya ajak kembali, sebab hati saya merasa belum puas, sambil berjalan kawan-kawan saya pesan supaya steling (siap-siap kokang senjata), soal yang menghadapi orang itu nanti
saya sendiri. Pertama saya menemui Kepala Desanya, menanyakan apakah betul mempunyai penduduk yang bernama Mustafa ?, setelah diakui bahwa orang tersebut penduduk situ, maka orang tersebut saya suruh panggil.
Setelah orang bernama Mustafa itu datang kawan-kawan bersiap-siap, lantas orang tersebut saya tanya ; mengapa bapak tadi sempat mengeluarkan kata-kata yang begitu menusuk hati ?  kita ini toh Tentara Rakyat, belum sampai saya teruskan pembicaraan saya, dia menjawab  Tentara Rakyat begitu itu, tidak punya aturan, akan merusak pada rakyat ?. Dengan jawaban yang demikian itu, mata saya merasa gelap, sambar saja orang itu saya tampar, sekaligus ndelosor (jatuh) dengan mengeluarkan darah dari mulutnya, sambil minta maaf, dan mengakuhi keslahannya. Paginya orang tersebut saya suruh uruk jalan yang tergenang oleh air laut sampai 7(tujuh) hari.
Antara 3 (tiga) hari lagi juga terjadi peristiwa lagi, Mantri Perikanan yang pada waktu itu memasukkan perahu tanpa memberitahukan/lapor, dan kita ditegur oleh Komandan, maka Mantri Perikanan saya panggil, sambar lagi tanpa saya tanya  dia saya lempar dengan gelas sehingga mengeluarkan darah.
Setelah kejadian itu saya dipanggil oleh Bapak R. Suparto guru saya, yang mana diberi nasehat banyak-banyak dan memang itu suatu cobaan,  maka saya diharap sabar, dan saya minta maaf kepada Pak. Suparto, atas kekilafan mengenai pesan-pesannya.