RIWAYAT HIDUP (BAGIAN I)


RIWAYAT HIDUP MULAI ZAMAN PENJAJAHAN JEPANG
S
   
aya dilahirkan pada tanggal 06 September 1923 di desa Sidorejo Jati kecamatan Sugio, Kabupaten Lamongan.
Ayah saya bernama Ki. Abuamar, dan ibu saya bernama Tihamah.
Pada tahun 1929 saya masuk sekolah SD 3 tahun tamat, kemudian melanjutkan ke VERVOLK SCUL di Kedungpring selama 3 tahun tamat dan berijazah 1936. Setelah itu saya mengaji di Pondok Pesantren NGABLAK/BOWERNO Selama 5 tahun.

Pada tahun 1942 Negara Indonesia dalam kekuasaan penjajah Jepang. Pada waktu itu pemerintahan Jepang membentuk Tentara Pembela Tanah Air (PETA) terdiri dari pemuda-pemuda Indonesia.
Pada waktu itu saya sendiri juga ikut serta mendaftarkan/ingin menjadi Tentara Peta. Kemudian saya   bersama  sama  saudara  sepupu  saya bernama Nurhasim dan Ridwan kakak se-adik, Setelah pada waktunya pemeriksaan badan, kedua saudara saya tersebut dapat diterima untuk menjadi Tentara Peta, karena dalam pemeriksaan badan memenuhi persyaratan, sedangkan saya sendiri tidak dapat diterima karena berat badan saya kurang memenuhi persyaratan. Meskipun demikian saya tidak putus asa, pendaftaran yang kedua saya daftar lagi tetapi masih gagal lagi dengan masalah yang sama yaitu berat badan kurang memenuhi persyaratan.
Kemudian ada instruksi dari Pemerintahan Jepang, bahwa semua pemuda harus masuk dalam barisan  :
1. Kaibodan.
2. Seinendan.
3. Pelopor.
Pada waktu itu saya terpilih sebagai Pemimpin Kaibodan merangkap memimpin barisan Pelopor sehingga tidak bisa bekerja di rumah, karena setiap hari latihan. Adapun tugas dari barisan pelopor sebagai berikut :

Setiap hari memeriksa orang yang memotong padi di sawah dan membagi hasilnya, sebab pada waktu itu tiap panen hasil yang seperempat harus disetorkan ke pemerintah Jepang.       

    

KEJADIAN-KEJADIAN PADA PEMERINTAHAN JEPANG

P

ada suatu hari ada permintaan orang Indonesia untuk Romusa (kerja paksa) yang akan dikirim keluar jawa, oleh karena waktu itu Kepala Desa agak perselisihan dengan saya, sehingga   menaruh dendam/sentimen maka dengan adanya permintaan orang untuk romusa tadi oleh Kepala Desa dirahasiakan  kemudian memanggil saya dengan maksud akan menjerumuskan dengan jalan mengirim saya untuk memasuki romusa, dengan tipu muslihatnya dia mengatakan pada saya ada permintaan pemuda untuk disekolahkan Pertanian di Jember selama 6(enam) bulan , dengan keterangan yang demikian itu, bagi saya sangat senang untuk mengikuti, dan memang Kepala Desa seakan-akan  memaksa tetapi dengan kata-kata yang sangat manis akhirnya saya sanggup menjalani, setelah tiba waktunya maka berangkatlah saya dengan naik kereta api menuju Bojonegoro. Sampai di Bojonegoro jam 21.00 setelah saya masuk ditempat yang telah ditentukan, betapa terkejut hati saya dan rasa heran. Sebab ditempat itu ribuan orang banyaknya setelah saya masuk disambut dengan gemuruh, kemudian saya bertanya pada seorang mandor, “ini apakah betul orang-orang yang akan disekolahkan pertanian ke Jember ?” kemudian dijawab
bahwa orang-orang yang dikirim kesini akan dikirim ke luar jawa untuk Romusa. Dengan keterangan tersebut saya merasa sedih, akhirnya saya memberanikan diri menghadap Jepang dengan menunjukkan tanda anggota Kaibodan, dan terus terang saya katakan bahwa saya diperintah Kepala Desa untuk memasuki sekolah pertanian di Jember. Setelah Jepang mendengar keterangan tersebut saya diperintahkan kembali.
Dalam waktu yang singkat tentara Peta dibubarkan, pada waktu itu kesempatan bagi saya untuk membalas dendam kepada Kepala Desa. Pada waktu kekuasaan di tangan pemuda dan pada waktu itu pula banyak lurah-lurah (Kepala desa) yang diikat oleh pemuda karena makan padinya rakyat. Setelah kejadian demikian maka Kepala Desa akan saya ikat juga. Kemudian jam 24.00 malam Kepala Desa dengan carik datang kerumah saya menyatakan minta hidup dan minta maaf, akhirnya saya tidak sampai hati untk saya lakukan.
Dalam waktu yang dekat saya dikawinkan oleh orang tua, dijodohkan dengan anaknya carik dongkol Pak Jasman desa Kedung Banjar, tetapi perkawinan/perjodohan itu hanya berlaku 3 (tiga) bulan karena setelah saya di rumah mertua terus sakit keras, sehingga tidak ingat lagi  sampai dibawa pulang oleh orang tua, setelah saya sembuh, saya tidak punya rambut rontok semua.
Pada waktu ramai-ramainya pemberontakan di Surabaya antara pemuda dengan Jepang. Pada waktu itu juga saya tidak mau ketinggalan, ikut serta maju ke Surabaya dengan naik kereta api dari stasiun Kedungpring menuju ke Surabaya. Setelah sampai di Surabaya ditempatkan di markas Embong Sawo kemudian paginya menerima pembagian pakaian lengkap berwarna kuning dengan sepatunya serta kaos dalam. Dalam selama 2 (dua) hari keadaan aman tentram, kemudian setelah dapat 3 (tiga) hari  sekitar jam 10.00 siang dengan serentak datanglah kapal terbang milik belanda menyebarkan panflet yang berbunyi sebagai berikut : “ Supaya pemuda Surabaya meletakkan senjatanya di lapangan Kemayoran, jarak senjata dengan orangnya 100 (seratus) meter “. 
Dengan adanya panflet yang demikian itu, kita semua bersiap-siap untuk menghadapi musuh setelah ± jam 16.00 wib kita semua dikumpulkan di markas Kaliasin untuk digembleng oleh Bapak. K.H. Hasyim  Tebuireng, semua teman-teman diberi minuman dan diusap tangannya. Oleh karena senjata tidak mencukupi maka sebagian teman-teman hanya diberi senjata bom bakar, termasuk saya sendiri. Sekitar berjumlah ± 30 orang diberi senjata bom bakar dan diperintahkan untuk menjaga disekitar markas, adapun teman-teman yang bersenjata atau bekas tentara Peta sudah berangkat ke tempat yang ditentukan. Setelah jam 20.00 wib teman-teman saya kumpulkan dan saya ajukan pendapat sebagai berikut :
1.       Mengajak teman-teman untuk minta senjata.
2.       Kalau tidak dapat senjata lebih baik melindungkan diri, karena kalau hanya bom bakar saja tidak berarti.
Akhirnya semua teman-teman setuju dengan pendapat yang saya ajukan maka terus saya ajak menghadap pada pimpinan untuk menyampaikan maksud tersebut, setelah menghadap oleh pimpinan kita semua yang tidak bersenjata diperintahkan untuk melindungkan diri yang jauh dari kota.
Kemudian kawan-kawan saya ajak berjalan menuju Wonokromo dengan maksud paginya  naik kereta api ke Jombang, tetapi setelah sampai di muka Markas Ngagel kita semua ditahan tidak boleh berjalan malam. Pada malam itu tembakan mortir musuh dari laut tidak ada henti-hentinya hingga pagi, adapun saya dengan kawan-kawan tetap dalam perlindungan. Setelah jam  07.00 wib saya dengan seorang yang bernama Supardjan permisi minta diri akan meneruskan perjalanan, tetapi tetap tidak boleh pulang lantas saya jawab bahwa saya akan mencari kesatuan saya lagi, kemudian diijinkan terus saya kembali ke Embong Wungu mencari kawan-kawan tetapi sudah tidak ada, lantas saya masuk dalam markas kebetulan almari yang berisi kaos dan pakaian tidak terkunci, saya berdua bermaksud akan mengambilnya tetapi baru saja membuka pintu almari, digranat dari kapal terbang terus saya berdua berlindung di dalam parit. Setelah keadaan aman kita berdua berunding untuk melepaskan pakaian dinas berganti pakaian preman, lantas kita berdua sepakat berpakaian preman sedangkan pakaian dinasnya kita bungkus dengan terpal pembagian.
Setelah itu berangkat menuju ke Wonokromo bersama-sama orang mengungsi, sekitar jam 10.00 wib naik kereta api menuju Ploso Jombang. Setelah turun di Jombang kidul, berjalan kaki menuju ke Ploso.
Sekitar jam 15.00 wib sampai di Ploso terus menuju kerumah penginapan,pada waktu itu sewa penginapan Rp.010,- didalam penginapan itu ternyata sudah banyak orang-orang yang menginap.
Kemudian sekitar jam 17.00 wib kita berdua berpakaian dinas, didalam kamar setelah itu terus keluar ke stasiun Ploso menanyakan sepur (kereta api) yang berangkat pagi jurusan Babat, setelah di Stasiun datang serombongan kawan-kawan juga ada kawan tetangga desa saya diantaranya:
1.       Sdr. Kasiyun       Deket.
2.       Sdr. Parlan         Nglebur.
3.       Sdr. Kusnan       Nglebur.
Pada jam 06.00 wib kita berangkat naik sepur (kereta api) menuju kedungpring terus pulang kerumahnya masing-masing.
Antara satu minggu di rumah, ada pendaftaran B.K.R (Badan Keamanan Rakyat). Tanggal 01 Desember 1945 saya diterima menjadi anggota B.K.R. bertempat di markas Babat. Kemudian dipindahkan ke Distrik Bowerna. Disitulah kita mengalami latihan kemiliteran.
Pada suatu malam kita diperintahkan untuk mengambil orang-orang Jepang yang di desa-desa atau yang ditempatkan di kelurahan. Pada jam 21.00 wib (malam) dengan kendaraan truck kita berangkat menuju kecamatan Kepuhbaru, orang-orang jepang sudah bersiap-siap menanti kedatangan kita. Dengan tidak menunggu lama lagi Jepang kita angkut terus kita bawa ke Surabaya, malam itu juga kita kembali ke Bowerna.
Setelah sampai di markas datang kawan saya menjumpai saya dengan memberikan sesampul surat dari ayah, setelah saya  buka dan saya baca, maksud dari surat tersebut adalah  supaya saya segera pulang karena akan dikawinkan, dan perkawinan tinggal kurang 3 (tiga) hari lagi. Setelah saya pulang bertanya pada ibu, akan dikawinkan dengan siapakah saya ini ?  Dijawab oleh Ibu “Kamu akan saya jodohkan dengan anaknya Pakmu De Kaji Sodiq desa Badu wanar.
Setelah mendengar demikian seketika saya menangis dan akan melarikan diri, sebab tidak setuju karena saudara sendiri/mindoan. Kemudian orang tua memberi nasehat pada saya, sekalipun hanya satu hari harus saya jalani sebab berat sudah berjanji pada orang itu. Maka terpaksalah saya jalani sampai berlangsung 3 (tiga) bulan dan istri saya itu diboyong kerumah saya sendiri.
Kemudian saya/kompi saya pindah ke desa Bungah Sidayu, setelah beberapa bulan di bungah, saya tidak pernah pulang. Dan biasanya kalau sore saya main ke warungnya Mak Fi, nama orang yang punya warung.       
   Pada suatu hari/sore, saya ke warung itu ditanya oleh orang warung, anak ini asal dari mana, dan apakah sudah beristri ?, sekalipun saya sudah beristri, karena sudah pasti akan saya cerai  maka saya jawab belum punya. Kemudian orang warung itu menyuruh supaya saya kawin di Bungah saja, berulang-ulang setiap saya datang kesitu dia memberi saran  agar saya kawin bahkan dia mengeluarkan uang ringgit perak dua ringgit sambil berkata “kalau anak mau kawin, inilah untuk maskawin anak”.  Lantas saya jawab maaf saja mak, saya kalau kawin di sini tidak berani, sebab orang sini rupa-rupanya alim semua, sedangkan saya tidak bisa mengaji, dan siapakah yang mau mengambil menantu Tentara?. Sebab tentara itu tidak mendapat gaji, kemudian orang warung itu menjawab kalau anak mau, akan saya jodohkan dengan anak keponakan saya sendiri. Kemudian saya jawab baiklah mak, tetapi saya ingin tahu anaknya dulu, jawabnya  kalau begitu nanti sore saja atau siang nanti anak supaya datang kerumah saya, sebab biasanya anak itu kalau pergi mengaji mesti melalui depan rumah saya Jam 16.00 wib saya kerumah mak Fi atau orang yang punya warung itu, anak itu tidak ada keluar, sehingga mak Fi pergi ke rumahnya, bermaksud untuk membujuk anak itu supaya keluar, tetapi anak itu rupanya sudah mengerti terpaksa tidak mau keluar.
 Berulang-ulang saya bermain-main disekitar rumah mak Fi, tetapi terpaksa tidak tahu anak itu. Akhirnya sekalipun tidak bisa mengetahui maka saya putuskan sanggup kawin.
Antara dua hari saya datang ke rumah bakal mertua bermaksud :
1.       Minta anaknya itu.
2.       Mungkin anak itu mau keluar atau disuruh suguh wedang (menghidangkan kopi) agar saya mengetahui.
Setelah saya disitu, maka bakal mertua mengundang saudaranya laki-laki bernama K.H. Mochammad, untuk diajak pertimbangan. Setelah sama-sama mufakat maka seketika itu juga ditentukan hari dan tanggal perkawinan yaitu jatuh pada hari selasa legi tanggal 02 Februari 1947 jam 08.00 wib  antara lima hari lagi.
Lantas paginya saya menghadap Komandan Kompi minta ijin kawin, tetapi permintaan saya itu ditolak, bahkan dimarahi lantas saya jawab bahwa ini sudah ditentukan hari dan tanggalnya, jawabnya Komandan Kompi  jangankan hanya soal perjanjian kawin saja, ingat perjanjian Linggarjati  masih bisa digagalkan. Karena pada waktu itu saya takut, maka saya jawab ya sudah kalau tidak boleh, terus saya kembali.
Setelah perkawinan kurang dua hari, saya ditugaskan jaga di Brak untuk mengawasi keluar masuk perahu. Kawan saya 4(empat) orang diantaranya bernama :
1.       Syamsul Anam.
2.       Samadji.
3.       Pakis.
4.       Dan saya sendiri.
 Hari senin malam selasa ketiga orang kawan tersebut saya kumpulkan dan saya beri tahu bahwa besok pagi jam 08.00 wib saya akan kawin, tetapi kawan-kawan saya minta hal ini dirahasiakan, karena saya sudah minta ijin pada komandan tidak diijinkan bahkan dimarahi. Ketiga kawan tersebut tidak percaya bahwa saya akan kawin akhirnya percaya dan sanggup akan merahasiakan hal itu. Semalam itu saya tidak bisa tidur karena :
1.       Ingat pada orang tua.
2.       isteri saya yang dirumah belum saya cerai.
3.       Khawatir kalau perkawinan ini ketahuan komandan.
4.       Pakaian tidak punya.
Setelah pagi jam 07.30 saya permisi dengan kawan-kawan untuk nikah, setelah masing-masing saya minta ijin, ketiga kawan itu menangis.
Waktu itu saya hanya berpakaian sarung, hem dan songkok terus menuju rumahnya mak Fi setelah sampai disana mak Fi memberitahukan pada saya, bahwa saudara ipar bakal isterimu itu tidak setuju mengambil menantu Tentara, sebab katanya tentara itu kalau kencing tidak bersuci (cebok) lantas saya jawab sekarang pokoknya anak perempuan dengan orang tua. Lantas mak Fi tanya lagi, bagaimana nak sampeyan nanti waktu nikah dengan bahasa arab atau bahasa jawa, sebab disini pada umumnya semua memakai akad bahasa Arab. Lantas saya jawab soal itu terserah nanti mak, Arab atau jawa itu sama saja  maksudnya.
Pada waktu itu Naib sudah di rumah mertua, menanti kedatangan saya. Waktu saya pergi ke rumah mertua itu hanya dua orang, yaitu anaknya mak Fi bernama Muntako. Setelah saya masuk, disitu sudah penuh orang-orang Haji yang hadir, dan saudara iparnya bakal isteri saya yang tidak setuju tadi tidak mau hadir.
Setelah saya duduk dimuka Naib, lantas naib bertanya sdr. Kohari akan mengerjakan akad nikah bukan? Sekarang saya bertanya  berapakah rukunnya nikah itu? Maka dengan singkat saya jawab 5 (lima), apakah saudara membaca khotbah, tidak, cukup saya wakilkan, kemudian diwakilkan oleh Pak H. Mochammad.
Kemanten akad bahasa arab atau bahasa jawa? Pertanyaan yang terakhir ini tidak segera saya jawab, dalam pikiran saya kalau toh saya memakai bahasa jawa mungkin saya tambah di caci oleh iparnya isteri saya, sambil melirik kanan kiri jadi lama betul jawaban saya, sehingga diulangi pertanyaan lagi, terus saya jawab dengan tegas dan singkat Arab.        
Dengan pertolongan Tuhan, didalam akad nikah itu jawaban saya dengan bahasa arab itu tidak ada yang salah. Sesudah bubaran baru iparnya isteri saya datang mengenalkan diri setelah dia pulang saya terus kembali ke tempat penjagaan lagi.
Atas kemurahan hati kawan-kawan tiap malam saya disuruh tidur pulang. Dengan tidak setahu  saya, mertua menyuruh orang untuk mengantarkan kue-kue ke tempat komandan/F. Ismail, dan orang itu bilang kalau dari mertua mas Kohari. Kemudian pada esok harinya saya sedang duduk di rumah /penjagaan sekonyong-konyong komandan memanggil pada saya dengan suara yang keras, serta matanya kemerah-merahan. Dengan panggilan yang demikian itu saya merasa sebal dan takut, sudah yakin saya akan menerima tamparan, paling tidak dimasukkan sel. Kemudian kawan saya bernama Suto Samadji anak dari Jatirogo memberi pertolongan pada saya, dipinjami pusaka berupa keris dapur semar dempok. Katanya sudalah mas jangan takut, bawalah keris saya ini, Insya Allah komandan tidak bisa bicara, keris terus saya bawa.
Setelah saya sampai di muka komandan dan memberi hormat, ternyata sepatah katapun komandan tidak bisa berbicara, hanya melihat saya kebawah keatas. Setelah sudah beberapa menit baru berbicara minta tolong kepada saya suruh mengambilkan jas hujannya, setelah saya ambil dan saya sampaikan, dia juga masih diam. Sambil melihat saya lagi kebawah keatas akhirnya menyatakan terima kasih.
Antara lima hari regu saya ditugaskan ke Ujungpangkah, tugas kita untuk mengawasi keluar masuk kapal, kita awasi dari gunung Kaklak kalau pagi naik, sore turun begitulah seterusnya.
Setelah dapat beberapa hari di Ujungpangkah saya saya menemui Naib Ujungpangkah dengan maksud akan mencerai isteri saya yang pada waktu itu masih di rumah saya, yaitu isteri dari Baduwanar. Akhirnya berhasil mendapatkan surat talak (cerai) terus saya kirimkan melalui pos saya alamatkan kepada orang tuanya. Setelah orang tuanya menerima surat talak itu segera anaknya yang di rumah saya diajak pulang.
Pada waktu saya ditugaskan di Ujungpangkah, disamping bertugas, juga dapat  menggembleng diri di desa itu, dengan perantaraan Pak Guru Suparto. Perlu saya terangkan disini bahwa di desa Ujungpangkah itu ada sebuah sumur di muka masjid yang dinamakan Sumur Bedji  sumur tersebut airnya bermacam-macam warnanya diantaranya berwarna :
1.       merah.
2.       Hijau.
3.       Putih.
4.       Kuning.
5.       Hitam.
6.       Dan berwarna seperti tajin.
Kalau sudah keluar seperti air tajin sumur tersebut mendidih. Inilah yang untuk keuletan/ kekuatan badan.
Tepat pada hari malam jumat legi jam 24.00 wib saya diajak oleh Pak R. Suparto, sebelum kita berangkat ke sumur terlebih dahulu ziarah ke 5 (lima) makam, dan perlu saya terangkan disini, bahwa desa Ujungpangkah itu tiap-tiap sudut desa ada pasarean/makam dan di belakang masjid. Yang terakhir ziarah ke makam belakang masjid, terus menunggu keluarnya air yang mendidih di sumur bedji. Jam 24.30 wib air sudah kelihatan mendidih. Terus saya disuruh terjun dan disuruh minum tiga teguk. Setelah selesai saya diberi nasehat oleh Pak Suparto :
a.       Supaya saya selalu sabar, sebab biasanya keluar dari situ/dari sumur bedji cobaannya tidak lama.
b.       Harus percaya diri sendiri.
c.       Jangan sekali-kali memukul orang, dan harus berani ngalah.